JAKARTA — Tak bisa dipungkiri, garam merupakan komoditas penting yang dibutuhkan untuk produksi pangan maupun industri non-pangan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Guna menjamin pemenuhan kebutuhan garam nasional, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) melaksanakan program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (Pugar). Program yang dimulai sejak tahun 2011 ini juga diharapkan dapat meningkatkan penghasilan petambak garam.
Direktur Jenderal PRL, Brahmantya Satyamurti Poerwadi dalam gelaran konferensi pers yang turut dihadiri Kepala Satgas III Unit Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dian Patria mengatakan, kebutuhan garam dalam negeri meningkat rata-rata sebesar 4,3 persen per tahun. Oleh karena itu, produksi garam rakyat juga harus ditingkatkan.
“Produksi garam rakyat tahun 2018 mencapai 2.350.768,02 ton dan PT Garam mencapai 367.260 ton. Total sebesar 2.718.028 ton (data BPS) atau naik 145 persen dari produksi tahun 2017 yang sebesar 1.111.395 ton,” papar Brahmantya di Kantor KKP, Jakarta, Jumat (1/3).
Untuk menyimpan hasil produksi tersebut, hingga 2018, KKP tercatat telah membangun 18 unit Gudang Garam Nasional (GGN) yang tersebar di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh; Kabupaten Karawang, Jawa Barat; Kabupaten Indramayu, Jawa Barat; Kabupaten Cirebon, Jawa Barat; Kabupaten Brebes, Jawa Tengah; Kabupaten Demak, Jawa Tengah; Kabupaten Pati, Jawa Tengah; Kabupaten Rembang, Jawa Tengah; Kabupaten Tuban, Jawa Timur; Kabupaten Lamongan, Jawa Timur; Kabupaten Sampang, Jawa Timur; Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur; Kabupaten Sumenep, Jawa Timur; Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB); Kabupaten Sumbawa, NTB; Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT); Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan; dan Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.
“Gudang ini akan digunakan sebagai tempat penyimpanan garam hasil produksi petambak garam dengan kapasitas 2.000 ton yang dikelola oleh koperasi garam di masing-masing sentra garam rakyat,” terang Brahmantya.
Dari total GGN tersebut, Brahmantya menyebutkan, beberapa di antaranya telah menerima sertifikat kelayakan sebagai pelaksana sistem Resi Gudang, yaitu Cirebon, Indramayu, Pati, Pangkep, Rembang, dan Tuban. GGN ini telah menerbitkan Resi Gudang Komoditas Garam dengan total nilai Rp782 juta.
Ke depan, Brahmantya berharap program Pugar ini dapat mengembangkan Kawasan Ekonomi Garam (KE-Garam) yang bertujuan meningkatkan kualitas garam dan penetrasi pasar yang mencakup integrasi sistem stok berbasis pasar dan keunggulan wilayah. “Diharapkan, hulu dan hilir industri garam rakyat akan tersambung,” lanjutnya.
Tak hanya bicara garam, dalam kesempatan tersebut, Brahmantya juga membahas Rencana Zonasi dan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Penyusunan RZWP3K sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 jo Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014.
Sejak tahun 2014, KKP, KPK, dan 34 Gubernur di seluruh Indonesia telah menyepakati Rencana Aksi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) Sektor Kelautan, dengan salah satu agendanya adalah percepatan penyusunan RZWP3K.
Kepala Satgas III Unit Koordinasi dan Supervisi Pencegahan KPK, Dian Patria mengungkapkan, KPK menyepakati rencana aksi GNP-SDA mengingat banyak sekali tumpang tindih konflik yang berpotensi tindak pidana korupsi. Bisa jadi memang karena kesengajaan, ketidaktahuan, atau mungkin keterlanjuran, tidak tersedianya data, hingga tiadanya pengawasan yang baik.
“Luas Indonesia 71 persen laut. Bayangkan kalau 71 persen itu tidak diatur secara apik. Sementara di laut banyak sekali kepentingan-kepentingan, banyak sekali sektor-sektor yang membutuhkan pemanfaatan ruang laut. Ini berpotensi (tindak korupsi) kalau tidak diatur dengan baik. Jangan sampai terjadi corruption by design. Ada yang salah diputihkan, atau ada hal-hal yang tidak boleh dimasukkan dalam rencana,” jelasnya.
Hal ini menurut Dian untuk mencegah adanya konflik akibat ketidaksesuaian kapasitas atau daya dukung lingkungan.
Menurutnya, RZWP3K merupakan instrumen yang sangat penting sebagai dasar izin lokasi dan izin pengelolaan untuk investasi kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Penataan ruang di wilayah pesisir dan pulau kecil dibutuhkan untuk meminimalkan konflik pemanfaatan ruang dan memberi kepastian hukum bagi kegiatan usaha.
Dian juga menyoroti penambangan yang terjadi di pulau-pulau kecil, seperti di Pulau Bintan, Kepulauan Riau beberapa waktu lalu. Padahal, dalam Undang-undang Kelautan telah diatur bahwa pulau dengan luas kecil dari 2.000 km persegi tidak boleh digunakan untuk penambangan. Namun faktanya masih banyak ditemukan kegiatan penambangan di pulau-pulau kecil.
Berdasarkan data KKP, terdapat 11.816 pulau dengan luas di bawah 10 hektar dari total 17.508 pulau di Indonesia atau sebanyak 73,59 persen. “Kalau ini tidak diatur lama-lama nanti habis. Rencana zonasi ini penting sebagai satu platform untuk menjadikan one map, one data, one policy,” kata Dian.
Sebagai informasi, penyusunan RZWP3K dilaksanakan sesuai Permen KP Nomor 23 Tahun 2016 yang didasarkan pada: a) Peraturan/Kebijakan yang lebih tinggi seperti Peraturan perundangan, RTRW, RPJMD, dan perencanaan/Kebijakan sektor; b) Basis keilmuan/Scientific Based; c) Kesepakatan seperti FGD, Konsultasi Publik, dan pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Penyusunan RZWP3K ini juga dikawal secara khusus oleh berbagai instansi seperti KKP, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Bappenas, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan KPK.
Dian juga mengungkapkan, rencana zonasi ini diturunkan dalam Peraturan Daerah (Perda) untuk memastikan izin-izin yang dikeluarkan jelas jangkauannya, tidak dipaksakan, dan tidak memicu moral hazard.
“Jangan sampai karena tidak ada Perdanya, sementara yang mohon izin sudah banyak, tidak ada kejelasan, akhirnya dihantam saja. Ini lebih sulit lagi menertibkannya kalau tidak ada kolaborasi yang baik. Kalaupun bisa ditertibkan, tapi damage has been done. Sudah ada kerusakan lingkungan,” ujarnya.
Saat ini, dari 34 provinsi di Indonesia, 17 di antaranya telah menetapkan Perda tentang RZWP3K, yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, NTB, NTT, Lampung, Sumatera Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Maluku, dan Maluku Utara.
Sementara itu, 4 provinsi telah dievaluasi Kemendagri, 2 provinsi dalam pembahasan di DPRD, dan 11 provinsi masih dalam tahap penyelesaian dokumen RZWP3K.
Brahmantya mengatakan, KKP akan melakukan pendampingan implementasi Perda RZWP3K melalui permintaan laporan berkala, monitoring dan evaluasi, serta mendukung penyusunan sistem kadaster laut.
Sebagai implementasi Perda RZWP3K, saat ini telah terbit 58 Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan serta 80 Rekomendasi Izin yang dikeluarkan oleh 6 provinsi.
Perda RZWP3K wajib menjadi acuan pemanfaatan ruang guna mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kedaulatan, keberlanjutan. dan kesejahteraan. “Jangan sampai penguatan ruang laut di pulau-pulau Indonesia ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang nantinya malah mengalahkan kepentingan rakyat atau kepentingan yang lebih besar, menghalangi tujuan bernegara menjadikan Indonesia poros maritim dunia atau meningkatkan harkat hidup nelayan Republik Indonesia,” tandasnya.
Lilly Aprilya Pregiwati
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Luar Negeri