Notification

×

Iklan

Iklan

Kisah Mahasiswa UI, Penyandang Difabel Netra yang Ikut Penelitian Pemindahan IKN ke Kaltim

12 Februari 2023
Kisah Mahasiswa UI, Penyandang Difabel Netra yang Ikut Penelitian Pemindahan IKN ke Kaltim

MajalahNusaraya.com — Salah satu difabel asal Tanggerang Selatan, pada tanggal 14 Juli 2020 lalu, sempat viral di Twitter. Pemilik nama lengkap Nur Fauzi Ramadhan itu viral karena berhasil menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Seperti diketahui, Universitas Indonesia merupakan salah satu universitas terbaik di Indonesia sampai saat ini. 


Uniknya, ia adalah seorang tuna netra  atau penyandang difabel netra yang lahir dengan bitnik-bintik putih di matanya. 


Mengutip dari cuitannya di Twitter, Nur Fauzi Ramadhan mengatakan, "Saya merasa berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia merupakan karunia yang sangat besar." 


Pemuda yang biasa disapa Ozi tersebut juga menambahkan kalau keberhasilannya tersebut tidak terlepas dari orang-orang yang selalu support dan membantunya hingga sampai di titik sekarang ini.


"Menjadi seorang penyandang difabel netra tidaklah mudah," ucapnya saat ditemui MajalahNusaraya.com baru-baru ini di rumahnya, Sabtu (04/02/2023). 


Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut mengatakan, pada awalnya sulit menerima jika dirinya menjadi seorang difabel. 


Walaupun menjadi penyandang difabel netra seperti sekarang ini, Allah SWT sempat memberikannya kesempatan untuk melihat. Karena itulah ia sangat sedih dan harus menerima kenyataan bahwa pengelihatannya semakin lama semakin menurun. Dari mulai kelas satu sampai dengan kelas empat SD, ia masih sempat merasakan sekolah di sekolah umum. Kemudian pada kelas lima SD dipindahkan ke sekolah inklusi. 


Berbeda dengan Sekolah Luar Biasa (SLB), sekolah inklusi pada dasarnya memiliki prinsip kesetaraan pendidikan bagi para anak-anak dengan kebutuhan khusus. Mungkin banyak yang belum pernah mendengar istilah sekolah inklusi. 


Di sekolah inklusi ini, baik anak yang berkebutuhan khusus maupun tidak, dapat belajar di kelas yang sama dan mendapat bobot pendidikan yang sama. Jadi, sekolah inklusi menerima murid dengan kondisi normal dan juga murid-murid yang memiliki kebutuhan khusus.


Bu Cucu adalah salah satu orang yang berjasa di dalam hidup Ozi. Beliaulah yang membantunya untuk dapat bersekolah di sekolah inklusi tersebut. Ozi pernah mendapatkan ranking 27 dari 28 anak di kelasnya, padahal sebelum dipindahkan ke sekolah inklusi, ia selalu mendapatkan ranking 1 di sekolah umum. 


"Kenapa saya harus dipindahkan ke sekolah inklusi, saya merasa tidak ada yang berbeda dari anak-anak normal lainnya," ucap pemuda berusia 20 tahun ini, mengenang masa sekolahnya dulu. 


Dalam proses menerima kenyataan bahwa dirinya adalah seorang penyandang difabel netra, ia mendapat dukungan dari keluarganya. Selain support dari kedua orang tuanya, Bu Rani selaku wali kelasnya juga turut membimbingnya dalam hal pembelajaran di sekolah. 


Ozi mengaku sempat merasa dibedakan pada saat ia duduk di bangku SMP, terutama pada saat pelajaran olahraga. Ia tidak bisa ikut berolahraga bersama dengan teman-teman sekelasnya yang lain. Hal ini terkadang membuatnya merasa kesal. Ia hanya bisa duduk menunggu teman-temannya yang sedang berolahraga hingga jam pelajaran selesai. 


Meskipun merasa berbeda dari teman-temannya yang lain, Ozi mengaku tidak pernah ada perasaan minder sedikit pun dengan kekurangan yang dimilikinya. Terbukti ia selalu mendapat peringkat sepuluh besar dan mampu bersaing dengan teman-teman di kelasnya. Hal tersebut juga tidak terlepas dari perjuangan Ibu Nurlayla dan Bapak Fahrurozi sebagai orang tuanya yang selalu sabar membacakan buku pelajaran ketika akan menghadapi ujian.


Hebatnya, sejak SMP ia sudah berkeinginan untuk menjadi mahasiswa hukum di Universitas Indonesia dan mencari informasi-informasi untuk menjadi bagian dari universitas bergengsi tersebut. Di usianya yang masih sangat muda ia sudah mempunyai mimpi dan tekad yang kuat. 


Namun siapa sangka pemuda hebat tersebut awalnya ingin menjadi dokter. Ia mengatakan bahwa sejak kecil, sebagian hidupnya dihabiskan di rumah sakit yang membuatnya merasa tertarik masuk kedokteran. Namun, Ozi merasa bahwa kedokteran bukan ranahnya yang akhirnya berbelok menjadi seorang ahli hukum.


Ya, pada akhirnya Nur Fauzi Ramadhan dapat mewujudkan mimpinya tersebut dan berhasil menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 


Kisah Mahasiswa UI, Penyandang Difabel Netra yang Ikut Penelitian Pemindahan IKN ke Kaltim
Nur Fauzi Ramadhan mahasiswa FHUI

Salah satu yang menjadi insipirasi Ozi menjadi seorang ahli hukum adalah Tio Tegar. 


"Tio Tegar merupakan orang yang menginspirasi sekaligus teman bagi saya. Dialah orang yang mendorong serta memberikan dukungan kepada saya untuk menjadi seorang ahli hukum, seperti dia. Dia lulusan UGM dan sekarang sedang melanjutkan pendidikan S2-nya di Inggris," ungkap Ozi.


Selain Tio Tegar, Ozi juga terinspirasi dari Mbak Andira, seorang penyandang difabel netra yang sudah lebih dulu masuk menjadi mahasiswa Universitas Indonesia. Sama seperti Mbak Andira, Nur Fauzi Ramadhan juga aktif dalam kegiatan kampus. 


Ozi juga pernah mengikuti lomba penulisan essai serta ikut merancang undang-undang. Ia juga pernah magang di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Tidak hanya itu, ia menjadi salah satu mahasiswa yang ikut membantu Dosen UI melakukan penelitian dan publikasi penulisan jurnal, terkait pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) Republik Indonesia ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.


Hal tersebut ia lakukan untuk membuktikan bahwa penyandang difabel netra memiliki kemampuan yang sama dengan orang-orang normal pada umumnya. Ozi juga ingin para difabel seperti dirinya diberikan kesempatan yang sama dalam hal pendidikan dan pekerjaan. 


Terakhir, Ozi juga menyampaikan pendapatnya mengenai difabel. Menurutnya ada 3 paradigma, yang pertama dalam pradigma kesehatan, disabilitas dianggap sebagai penyakit sehingga harus disembuhkan. Kedua, dalam pradigma sosial, disabilitas dianggap sebagai objek dari pembangunan. Dan yang ketiga dalam pradigma hukum atau hak asasi yang memandang disabilitas dari hal keberagaman cara namun hak dan kewajiban tetap sama. 


Kemudian ia juga menambahkan ada tiga istilah yaitu cacat, disabilitas, difabel. 


Cacat merupakan cara pandang yang sudah ada dari zaman dulu. Kemudian disabilitas yang berasal dari Bahasa Inggris yaitu disability yang artinya ketidakmampuan. Sedangkan difabel merupakan kependekan dari  kata bahasa Inggris differently abled yang artinya kemampuan yang berbeda. 


Ozi sebagai seorang penyandang difabel netra mengaku lebih suka istilah yang ketiga, difabel, karena menurutnya orang-orang dengan kekurangan seperti dirinya, sama dengan orang-orang normal. Hanya saja orang-orang dengan kekurangan tersebut memiliki kemampuan yang berbeda dengan orang-orang normal lainnya. 


Penulis/Editor: Aji Satryabakti